JURNAL KOMUNIKASI: Kerajinan Curug Gentong

Selasa, 08 April 2008

Kerajinan Curug Gentong

Ini merupakan produk kerajinan Curug Gentong atau miniatur air terjun di dalam gentong. bentuknya indah dan memberikan kesejukan. Paduan warna alami, dan suara gemericik air menciptakan suasana yang asri dan tenang. Sentra kerajinan Curug Gentong ini terletak di Depok, Jawa Barat. pembuatnya Hajah Ritta Rico bersama suaminya. Letaknya tidak jauh dari jalan Margonda Raya, Depok. Proses pembuatan kerajinan Curug Gentong ini tidak begitu sulit. Yang diperlukan ide kreatif disertai ketelitian, ketekunan dan kesabaran. Bahan bakunya gentong yang terbuat dari tanah liat yang dilubangi. Di bagian dalamnya diberi pecahan puing yang dilapisi semen, sehingga membentuk pemandangan berupa curug atau air terjun yang indah. Agar tampak lebih artistik, di bagian pinggirnya diberi semen dan dicat alami. Untuk menambah indah pemandangan, di bagian dalam gentong diberi miniatur jembatan dan pondokan. Guna menciptakan nuansa pemandangan air terjun, gentong dilengkapi dengan pompa air aquarium. Sehingga air dari dasar gentong dapat dipompa ke atas, dan mengalir ke bawah, bagaikan suasana di sekitar air terjun. Pembuatan satu Curug Gentong ini memerlukan waktu 3 sampai 4 hari. Di tempat ini juga diadakan pelatihan bagi mereka yang ingin belajar membuat kerajinan air terjun. Umumnya yang ikut pelatihan para mahasiswa di sekitar Depok. Pelatihan dimulai dari yang termudah, yakni membuat miniatur air terjun di media terbuka. Inilah berbagai Curug Gentong hasil kreasi ibu Ritta Rico. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari yang berukuran kecil, sedang, hingga besar. Semuanya tampak indah dan menyejukkan mata. Kerajinan Curug Gentong ini dipasarkan ke berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta sekitarnya, serta berbagai kota besar di pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Harganya bervariasi, mulai dari 150 ribu hingga 750 ribu rupiah.Tim liputan: Asep Syaifullah & Damar Galih(Helmi Azahari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Nusa Tenggara Barat adalah provinsi yang luasnya sekitar 50 ribu meter persegi. Di Provinsi dengan Ibukota Mataram ini terdapat sebuah desa bernama Karang Bajo yang jaraknya sekitar 82 kilometer dari Kota Mataram.
Desa yang terletak di kaki Gunung Rinjani ini dihuni Suku Sasak Bayan yang hampir seluruhnya beragama Islam . Ada sebuah tradisi yang unik disini, mereka memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW dengan adat Bayan. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu.
Kami tiba di Desa Karang Bajo pada sore hari. Pengurus pranata adat Karang Bajo beserta masyarakat adat sedang bermusyawarah.
Warga disini sedang sibuk mempersiapkan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW yang akan dilakukan selama 2 hari 2 malam. Dan untuk menyambutnya mereka membersihkan kampung adat mereka.
Pada esok harinya, ketika hari masih pagi warga lelaki di Kampung ini mulai membuat balen unggun yang akan digunakan sebagai tempat sekam sisa tampian padi.
Pohon beringin yang sudah berusia ratusan tahun ini cabangnya pun ditebang dan kayunya dijadikan tonggak untuk balen unggun.
Prosesi peringatan dimulai. Para anggota masyarakat adat atau toak lokan yang terdiri dari 6 orang memulai prosesi dengan mengambil Grantung atau sejenis gong yang telah berusia ratusan tahun di desa adat Bayan Barat.
Mereka menggunakan baju adat Sasak Bayan dan tidak diperbolehkan memakai pakaian dalam. Anak-anakpun disertakan dalam iring-iringan menjemput Grantung ini agar mereka kelak bisa meneruskan tradisi yang telah dilaksanakan sejak abad ke 16 silam.
Perjalanan tidak terlalu lama. Karena jarak desa adat Bayan Barat hanya sekitar 400 meter dari Karang Bajo. Setiba di Desa adat Bayan Barat, para utusan Karang Bajo langsung menuju grugat atau sejenis balai, tempat menerima tamu.
Mereka menunggu pembekal adat atau pemangku adat Bayan Barat yang menyimpan Grantung. Sembari menunggu, Anak Siwanep sebagai pimpinan utusan Karang Bajo memakan sirih yang telah disuguhkan. Ini merupakan tradisi kas masyarakat Bayan.
Sebelum utusan ini datang, Raden Sri Wali sebenarnya sudah mengetahui maksud kedatangan mereka untuk menjemput Grantung. Karena itu malam sebelumnya ia telah memberikan penginam kepada Grantung yang akan dijemput.
Grantung pun dikeluarkan diawali dengan Grantung Lanang atau Grantung Laki-laki lalu diikuti Grantung Wadon atau Grantung Perempuan dan alat musik tetabuhan lainnya. Suasana desa yang semula sepi kini menjadi ramai.
Suara Grantung ini sekaligus menjadi pertanda kepada warga Karang Bajo bahwa proses peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW telah dimulai. Dan setiba di Karang Bajo, Grantung dibawa ke geroga malang.
Sebelum digunakan, kedua Grantung ini dikawinkan. Prosesi perkawinan dilakukan dengan memberikan tanda air kunyahan daun sirih atau sembeh dikedua muka Grantung.
Pada zaman dahulu, setiap ada warga Bayan yang akan masuk agama Islam, mengucapkan 2 kalimat syahadat disertai memukul Grantung. Grantung telah tiba, suaranya terus bergema kesegala penjuru desa adat Karang Bajo. Masyarakat adat pun bersiap untuk mengikuti ritual peringatan kelahiran Sang Rasul terakhir.
Perang Maulud Dimulai
Hari menjelang sore, warga Karang Bajo berdatangan ke Kampung Wada ada yang membawa padi, kelapa dan juga hewan ternak. Semua barang bawaan warga ini khusus diperuntukan untuk memperingati maulud adat. Pemandangan semacam ini adalah hal yang biasa bagi masyarakat adat Karang Bajo.
Walaupun hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, namun mereka rela menyumbangkan hasil bumi dan hewan ternak mereka untuk peringatan kelahiran Sang Rosul.
Barang-barang ini mereka serahkan kepada Inan Menik yang khusus menangani konsumsi masyarakat adat selama peringatan berlangsung. Setelah menerima persembahan, Inan Menik memberikan tanda air kunyahan daun sirih atau sembek di kepala.
Sementara itu diluar kampung adat, para masyarakat adat pria mulai mempersiapkan ritual manutu atau menumbuk padi dengan membuka tutup lesung tempat menumbuk padi. Prosesi ini dilakukan 12 orang perempuan yang telah akil baliq dan tidak sedang datang bulan.
Menumbuk padi dilakukan secara berhati-hati agar jong atau tutup kepala tidak jatuh ke tanah. Masyarakat adat Bayan percaya bila ikat kepala jatuh saat sedang menumbuk padi, maka itu sebagai pertanda mereka akan jauh dari rejeki dan pendek umur.
Sementara itu 5 orang masyarakat adat laki-laki berangkat mengambil bambu tutul di Dusun Dasan Tutul sekitar 5 kilometer dari Karang Bajo. Ke 5 orang ini akan mengambil 4 bambu Tutul dan satu bambu Ikat yang akan dijadikan tunggul untuk perayaan Maulud Nabi di masjid kuno.
Sebelum menebang bambu, anak Paguban sebagai pimpinan rombongan melakukan ritual terlebih dahulu. Bambu tutul ini dahulunya berada di tengah hutan, namun kini telah dipenuhi dengan pemukiman penduduk.
Bambu ini khusus diperuntukan bagi perayaan Maulud Nabi Muhammad. Meksipun bambu ini setiap tahun ditebang namun masyarakat disini percaya pohon ini tidak pernah akan habis.Setelah dibersihkan bambu-bambu ini dibawa ke halaman masjid kuno untuk dibuat tunggul.
Malam pun tiba dengan bulan purnama bersinar penuh. Menurut hitungan secara syariat masyarakat adat Karang Bajo, inilah saat yang paling tepat untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. Karena berpatokan pada bulan purnama, peringatan Maulud Nabi dikalangan masyarakat adat Bayan tahun ini dilakukan 2 hari setelah tanggal 12 Robiul Awal.
Masjid kuno tampak meriah dengan dihiasi 4 tunggul. Tunggul ini merupakan lambang kemakmuran sehingga apapun yang ditanam warga Karang Bajo setahun kedepan diharapkan akan mendapat hasil yang melimpah. Warga pun memadati halaman masjid kuno.
Masyarakat umum diijinkan masuk ke halaman masjid tanpa mengenakan pakaian adat. Namun sebaliknya mereka diharuskan mengenakan pakaian adat bila masuk kedalam masjid.
Masjid ini dibangun pada abab ke 16, kini tidak lagi digunakan sebagai tempat shalat berjemaah. Masjid hanya digunakan 3 kali dalam setahun, yakni pada perayaan Maulud Nabi Muhammad, Idul Fitri dan Idul Adha.
Ritual perayaan Maulud dimulai. Ritual dipimpin Kyai Penghulu, Kyai Lebeh dan Kyai Ketip. Mereka didampingi pemangku adat. Prosesi bebau dilakukan yakni pemasangan kain putih sebagai simbol diatas langit masih ada langit. Sehingga manusia tidak boleh sombong.